TBBR News, Toho, 23/08/2025 – Siang itu, tepatnya di area Keramat Patih Patinggi, desa Sepang kecamatan Toho, sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat mendadak menjadi pusat perhatian. Ribuan orang berseragam merah menyala berdiri berjajar, rapi, dengan wajah serius namun penuh semangat. Bendera merah berkibar, musik Dayak menggema disela – sela teriakan khas Dayak, yaitu Tariu.

Di tengah suasana itu, sebuah Helikopter rombongan berhenti. Dari dalamnya, seorang tamu kehormatan turun dengan senyum hangat: Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka.
Hari itu bukan acara kenegaraan, bukan pula seremoni resmi pemerintahan. Kehadiran Gibran adalah untuk memenuhi undangan khusus dari seorang tokoh budaya: Panglima Jilah, pemimpin Besar pasukan merah Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR), yang sedang merayakan ulang tahunnya ke-45.
Undangan yang Tak Bisa Diabaikan
Beberapa bulan sebelum acara besar, Panglima Jilah datang ke Istana Wakil Presiden dengan langkah mantap. Ia tidak hadir sebagai tamu biasa, melainkan sebagai pemimpin adat yang membawa pesan leluhur. Dengan lugas, ia menyampaikan undangan kepada Wapres Gibran Rakabuming Raka bukan sekadar formalitas, melainkan panggilan adat yang sarat makna ajakan menyaksikan langsung semangat pasukan merah, barisan masyarakat adat penjaga tanah, hutan, dan marwah leluhur Dayak.
Gibran memahami undangan itu bukan basa-basi, melainkan simbol kepercayaan dan penghormatan. Ia tahu, hadir di tengah masyarakat adat berarti mengakui identitas budaya dan kekuatan sosial yang nyata di tanah Borneo. Karena itu, tanpa ragu ia menyatakan kesediaannya. ”Kalau yang mengundang beliau, maka saya wajib datang” kata Gibran diatas panggung sejarah bagi TBBR saat menyampaikan sambutannya.
Baginya, undangan itu adalah jembatan yang menghubungkan istana dengan Masyarakat Dayak, menyatukan suara dengan denyut nadi rakyat yang dibalut dengan adat dan budaya. Maka, saat hari tiba, perjalanan ke Toho menjadi bukti nyata bahwa panggilan adat tak bisa diabaikan. Di hadapan ribuan pasukan merah yang berdiri gagah, Gibran menyaksikan betapa adat dan budaya Dayak tetap tegak menjadi benteng peradaban. Di Toho, undangan itu tercatat sebagai sejarah.
Lautan Merah yang Membara
Begitu Wapres Gibran tiba di lokasi, lautan merah menyambut dengan gegap gempita. Seragam merah pasukan TBBR bukan sekadar pakaian, melainkan simbol loyalitas dan totalitas. Panas matahari yang terik tak sedikitpun menyurutkan semangat mereka. Ribuan pasang mata tertuju pada sang tamu kehormatan, sambil tetap menjaga disiplin barisan.
Saat berdiri di podium, Gibran tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. Ia menuturkan,
“Yang merah-merah biasanya totalitas luar biasa. Mereka rela berpanas-panasan, tapi tetap semangat.”
Kata-kata itu disambut riuh tepuk tangan dan sorak pasukan merah. Bagi mereka, pengakuan itu adalah bukti: perjuangan, kedisiplinan, dan semangat mereka dilihat langsung oleh negara.
Merah: Warna yang Mengikat
Di balik warna merah yang menyala, tersimpan filosofi mendalam. Merah adalah lambang keberanian, loyalitas, dan darah yang rela dikorbankan demi kehormatan. Bagi pasukan merah, seragam itu bukan hiasan, melainkan ikrar kesetiaan.
Gibran, dengan tatapan menyapu seluruh barisan, melihat lebih dari sekadar seragam. Ia melihat energi kolektif, kekuatan sosial yang jika disatukan dapat menjadi benteng budaya dan moral bangsa.
Bagi Wapres muda itu, barisan merah adalah pelajaran. Pelajaran bahwa kekuatan tidak hanya datang dari struktur pemerintahan atau institusi formal, tetapi juga dari komunitas adat yang solid, disiplin, dan penuh totalitas.
Panglima Jilah di Mata Negara
Panglima Jilah bukan sosok asing. Selama bertahun-tahun ia memimpin pasukan merah dengan ketegasan dan wibawa. Di bawah komandonya, TBBR tidak hanya menjaga adat, tetapi juga menjadi simbol kebangkitan Dayak.
Di mata Gibran, Panglima Jilah bukan sekadar pemimpin adat, melainkan sahabat negara. Kehadirannya, bersama ribuan pasukan merah, menunjukkan bahwa masyarakat Dayak bukan sekadar bagian dari Indonesia, tetapi salah satu pilar penting yang menguatkan bangsa.
Itulah sebabnya, hadir di ulang tahun ke-45 Panglima Jilah menjadi isyarat penting: negara hadir, negara mengakui, dan negara menghormati.
Pesan yang Tertinggal
Seiring berlalunya acara, gema pidato Gibran dan sorak-sorai pasukan merah masih terasa. Wapres kembali ke Jakarta dengan membawa sebuah kesan mendalam: tentang loyalitas, tentang disiplin, tentang kekuatan yang lahir dari akar budaya.
Bagi pasukan merah, hari itu adalah momen bersejarah. Mereka bukan hanya barisan adat yang tampil di tengah ritual, tetapi sebuah kekuatan yang mendapat perhatian langsung dari orang nomor dua di negeri ini.
Bagi Panglima Jilah, ulang tahunnya yang ke-45 bukan sekadar pesta, tetapi pernyataan: bahwa perjuangan Dayak masih hidup, bahwa pasukan merah tetap tegak, dan bahwa negara kini melihat mereka sebagai bagian penting dari mozaik Indonesia.
Merah Menyala, Indonesia Membara
Kehadiran Wapres Gibran di Toho menjadi kisah yang akan lama dikenang. Sebuah kisah tentang pertemuan antara adat dan negara, tentang penghormatan, dan tentang semangat yang menyala. Hari itu, di bawah terik matahari, di antara lautan merah, sebuah pesan terpatri kuat: Pasukan merah totalitasnya tidak diragukan, Panglima Jilah adalah simbol kepemimpinan yang disegani, dan negara hadir, untuk berjalan bersama, bukan di depan atau di belakang, tetapi seiring langkah dengan rakyat adatnya.
Merah yang menyala di Toho hari itu bukan hanya warna. Ia adalah api semangat, yang menyatukan Dayak dan Indonesia dalam satu napas perjuangan: teguh menjaga martabat, totalitas dalam loyalitas, dan setia pada tanah yang disebut Borneo.
(Humas DPP TBBR).
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.