Lompat ke konten

SIARAN PERS : TRANSMIGRASI: Bencana Bagi Masyarakat Lokal

SIARAN PERS Pukul : 07.15 wib Tanggal : 16 Juli 2025. Tempat : Gedung Serbaguna, Sintang – Kalimantan Barat. Alamat : Jl. YC. Oevang Oeray, Sungai Ana Kec. Sintang, Kab. Sintang – Kalbar.

TRANSMIGRASI: Bencana Bagi Masyarakat Lokal

Latar Belakang

    Transmigrasi, yang awalnya digagas sebagai solusi atas ketimpangan demografis dan ekonomi antardaerah, kini memunculkan persoalan serius di berbagai wilayah pedalaman, terutama di Kalimantan dan Papua. Program ini, yang pada awalnya dibalut semangat pembangunan dan pemerataan, telah menyisakan luka mendalam bagi masyarakat lokal, khususnya suku-suku adat yang selama ribuan tahun hidup berdampingan secara harmonis dengan alam.

    Alih-alih menjadi upaya pemerataan kesejahteraan, transmigrasi justru menjadi alat sistematis untuk mendorong marginalisasi masyarakat lokal dan penghancuran budaya mereka. Kehadiran para transmigran dengan dukungan penuh dari negara—dalam bentuk lahan, fasilitas, dan modal—telah mengubah tatanan sosial dan ekologi masyarakat asli. Dalam banyak kasus, masyarakat lokal justru tersisih dari tanahnya sendiri, kehilangan ruang hidup, nilai-nilai budaya, bahkan jati dirinya.

    Kini, saat kita melihat berbagai konflik horizontal, perebutan lahan, diskriminasi sosial, hingga kerusakan lingkungan di daerah-daerah transmigrasi, kita harus bertanya: Siapa sebenarnya yang diuntungkan dari program ini, dan siapa yang dikorbankan.

    Berikut Kajian Transmigrasi dari Berbagai Aspek

    1. Aspek Budaya: Hancurnya Identitas Lokal

    Transmigrasi membawa masuk budaya luar secara masif ke tengah masyarakat adat yang memiliki kearifan lokal yang telah teruji zaman. Proses ini bukan sekadar pertemuan budaya, melainkan dominasi budaya mayoritas terhadap minoritas. Banyak bahasa daerah punah, ritual adat ditinggalkan, dan nilai-nilai leluhur digantikan oleh sistem baru yang tidak mengindahkan kearifan lokal.

    Transmigrasi kerap tidak mengindahkan proses asimilasi yang sehat. Masyarakat lokal sering dianggap “terbelakang” atau “primitif”, dan budaya mereka tidak dihargai. Ketimpangan budaya ini memperkuat stereotip dan memperbesar jarak sosial, mengakibatkan erosi identitas dan hilangnya eksistensi budaya lokal secara perlahan tapi pasti.

    2. Aspek Ekonomi: Ketimpangan Struktural dan Marjinalisasi

    Alih-alih memberdayakan, transmigrasi justru menciptakan ketimpangan ekonomi baru. Para transmigran dibekali dengan fasilitas, bibit, modal usaha, hingga akses jalan dan irigasi, sementara masyarakat lokal dibiarkan berjuang sendiri. Tanah-tanah adat direbut atas nama HGU (Hak Guna Usaha) atau program redistribusi lahan, dan masyarakat lokal kehilangan sumber penghidupan tradisionalnya.

    Ladang, sungai, dan hutan yang dulunya menjadi ruang hidup mereka berubah menjadi kawasan produksi sawit atau pertanian skala besar. Masyarakat adat yang tadinya hidup mandiri justru tergantung pada sistem ekonomi luar yang tidak mereka pahami. Akibatnya, mereka menjadi buruh di tanah sendiri—terpinggirkan dalam skema pembangunan yang tidak berpihak.

    3. Aspek Sosial: Konflik Horizontal dan Disintegrasi

    Transmigrasi kerap menjadi pemicu konflik horizontal. Ketika sumber daya terbatas, perebutan lahan dan fasilitas menjadi pemicu ketegangan antara masyarakat lokal dan para pendatang. Konflik ini diperparah oleh diskriminasi sosial, di mana masyarakat lokal sering dianggap inferior dan kurang berpendidikan.

    Proses integrasi sosial yang dipaksakan tanpa pendekatan kultural menciptakan ketegangan yang terus membara. Terkadang, konflik-komflik kecil seperti persoalan batas tanah, distribusi bantuan, atau akses layanan bisa meletus menjadi kerusuhan sosial. Hal ini mencerminkan kegagalan negara dalam membangun harmoni sosial yang berkeadilan.

    4. Aspek Politik: Hilangnya Kedaulatan Masyarakat Adat

    Transmigrasi juga menjadi alat politik yang memperlemah posisi masyarakat adat dalam struktur kekuasaan lokal. Dengan meningkatnya jumlah pendatang, orientasi politik daerah pun berubah. Masyarakat lokal menjadi minoritas di tanah sendiri dan kehilangan representasi dalam lembaga-lembaga pemerintahan.

    Dominasi suara pendatang dalam pilkada, pemilihan legislatif, hingga musyawarah desa, membuat kebijakan-kebijakan pembangunan tidak lagi berpihak pada kepentingan lokal. Lebih parah lagi, masyarakat adat kehilangan hak kontrol atas tanah dan wilayah adat karena legalitas hukum seringkali tidak mengakui hak ulayat yang diwariskan secara turun-temurun.

    Saatnya Menggugat Program Transmigrasi

    Transmigrasi bukan hanya persoalan pemindahan penduduk. Ini adalah persoalan keadilan sosial, pengakuan atas hak-hak adat, dan penghormatan terhadap keberagaman budaya bangsa. Bila dibiarkan tanpa koreksi, transmigrasi akan terus menjadi bom waktu yang mengancam tatanan sosial dan keberlanjutan ekologi di Indonesia.

    Sudah saatnya negara mengevaluasi total program ini—bukan hanya dari sisi teknokratis, tetapi juga dari sudut pandang etika, sejarah, dan hak asasi manusia. Masyarakat lokal bukan objek pembangunan. Mereka adalah subjek sejarah yang layak diperlakukan dengan adil dan bermartabat.

    Sebagai organisasi masyarakat adat yang berakar kuat di tanah Kalimantan, Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR) menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap rencana pemerintah pusat yang kembali menggulirkan program transmigrasi ke wilayah Kalimantan. Dalam beberapa dekade terakhir, Kalimantan telah mengalami tekanan luar biasa akibat ekspansi industri, perampasan lahan oleh kaum kapitalis, dan degradasi lingkungan yang berdampak langsung pada ruang hidup masyarakat lokal.

    Kini, rencana transmigrasi justru berpotensi memperparah situasi. Program yang dahulu diharapkan menjadi solusi pemerataan, justru dikhawatirkan akan menambah beban sosial dan memperdalam ketimpangan. Oleh karena itu, TBBR menyatakan sikap tegas menolak program transmigrasi di Kalimantan sebelum dilakukan evaluasi menyeluruh dan melibatkan suara masyarakat lokal.

    Berikut isi dari PERNYATAAN SIKAP TBBR

    Dalam semangat menjaga keadilan sosial dan kelestarian wilayah Kalimantan, tanggal 16 Juli 2025, pukul 07.15 WIB bertempat di Gedung Serbaguna Sintang, Jalan Lintas YC. Oevang Oeray, Sungai Ana Kec. Sintang, Kab. Sintang – Kalbar , kami dari Ormas TBBR menyampaikan tuntutan resmi kepada pemerintah pusat sebagai berikut:

    PERNYATAAN SIKAP :

    “Adil Ka’ Talino Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata”

    Kami ormas TBBR sebagai warga masyarakat Kalimantan, merasa perlu untuk menyuarakan keprihatinan kami terhadap rencana program transmigrasi di Kalimantan. Program ini berpotensi membawa dampak negatif bagi masyarakat lokal maka dengan ini, kami mendesak kepada pemerintah pusat untuk :

    1. Mengevaluasi kembali rencana program transmigrasi di Kalimantan dengan kajian yang ditinjau dari berbagai aspek, terutama aspek sosial.

    Program ini harus mempertimbangkan kepentingan dan hak-hak masyarakat lokal, serta memastikan bahwa mereka tidak terpinggirkan atau terdampak negatif.

    2. Anggaran program transmigrasi agar dialihkan keperuntukannya bagi masyarakat lokal.

    Penduduk lokal Kalimantan berhak mendapatkan manfaat dari program ini, dan bukan transmigrasi yang datang dari luar. Fasilitas seperti rumah, tanah, dan lahan garapan serta jatah hidup harus diberikan kepada penduduk lokal yang membutuhkan. Saat ini banyak penduduk lokal yang tidak memiliki lahan dikarenakan lahan milik masyarakat dialihkan fungsikan untuk perkebunan dan pertambangan yang banyak menyebabkan terjadinya konflik agraria dan dalam konflik tersebut sudah banyak memakan korban jiwa.

    Dengan adanya program transmigrasi yang mendatangkan orang dari luar kalimantan dapat menimbulkan konflik sosial akibat kesenjangan antara penduduk lokal dan transmigrasi. Kalimantan punya sejarah kelam akan hal tersebut.

    1. Kami ormas TBBR siap membantu mengawal program pemerintah dalam mendata penduduk lokal yang layak menerima fasilitas program untuk kesejahteraan masyarakat lokal.

    Partisipasi aktif masyarakat lokal sangat penting dalam memastikan bahwa program ini berjalan dengan efektif dan adil.

    Kami berharap bahwa pemerintah pusat akan mempertimbangkan tuntutan kami demi mengutamakan penduduk lokal yang lebih sejahtera kedepannya.

    Penutup

    Kami berharap pemerintah pusat tidak menutup mata terhadap kenyataan di lapangan dan membuka ruang dialog yang inklusif bersama masyarakat Kalimantan. Kalimantan bukan lahan kosong. Ia dihuni, dijaga, dan dicintai oleh masyarakat adat yang telah hidup berdampingan dengan alam selama ratusan tahun. Jangan ulangi kesalahan yang pernah terjadi.

    Kami menuntut keadilan, Kami menolak dilupakan, Kami Butuh Kesejahteraan.

    Biro Humas DPP Tariu Borneo Bangkule Rajakng

    Translate »